Surat kepada Junandharu, Hujan Pertama di Bulan ke-sebelas


aku mengagumi segala yang tak bernama
yang bersedia memperkosa pikiran tanpa menyentuhnya lebih dalam;
orang asing
hiruk pikuk selalu dipenuhi oleh orang asing di terminal-terminal,
yang turun menjinjing koper perjalanannya
sedang aku turun dengan menyiarkan lelahku dalam buku-buku
catatan saku dan kotak surat

satu waktu sambil membersihkan piringan hitam dari luka dalam temaram
aku berkata pada diriku;
saat kau tak mampu berdiri
menyerah bukanlah pilihan
walau duka lara masih tetap mengusik
menyelisik masuk pojok peluhku
menyamar menjadi batu di samping ginjal
aku tetap menulis pada tempat yang benar

aku mencintai tubuh, air mata dan petikan gitarmu
aku tak peduli berapa kali lagi harus menderita
aku masih punya musik
dari suara deru mesin ibukota yang enggan berhenti
kita bercinta dalam keintiman
yang tak pernah tergapai
yang begitu dekat dalam jauhnya jarak
kamu tak pernah tahu
bagaimana pikiran ini enggan lepas
menjelajah ke sisa suaramu yang lelah
membuat penetrasi tepat pada porsinya
sampai rasanya inginku rekam waktu ke dalam kaset

aku tak punya lagi ruang kekaguman untuk manusia
kita tak pernah terkesan
hidup sudah terlalu linier
otak diracuni dengan makanan kadaluarsa
cap para ahli dan televisi
ah! kehidupan kita yang malang
berisi kecantikan abadi dalam kesemuan kita memandang
aku bahkan tak bisa melihat cakrawala
pada matamu yang bersembunyi dibalik kaca
juga saat pikiran kita saling menghakimi satu sama lain
kemudian tuhan mengantri dini hari

aku tak butuh penjual niat untuk ini
karena niatku hanya ingin bilang;
kalau sore hari adalah waktu yang dirasa tepat
untuk bercengkrama dan menikmati secangkir teh panas
bersulang!



Cipanas, 09 November 2015, Pkl. 00.29 WIB